Lingko : Tradisi Pembagian Tanah Garapan di Manggarai Nusa Tenggara Timur

ABSTRAK

Kehidupan manusia secara filosofis diatur oleh pelbagai nilai, baik yang berujud material maupun spiritual. Oleh karena adanya hasrat untuk senantisa hidup tertib, maka masyarakat itu sendiri yang merumuskan, mengembangkan, mempertahankan, dan melestarikan nilai-nilai yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya. Dalam perspektif historis nilai tersebut tetap dipertahankan pada setiap periode maupun generasi, tanpa menolak berbagai perubahan yang disesuaikan dengan kondisi periode tersebut., dengan tidak menghilangkan maknanya. Perubahan jaman telah memberi peluang kepada setiap masyarakat untuk mengembangkan tradisinya tanpa harus meninggalkan nilai yang mendasari bentuk kegiatan tradisi tersebut. Pada setiap periode masyarakat akan selalu mengingat pola yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya, dan tradisi itu berkembang sesuai dengan tatanan nilai yang dijunjung oleh masyarakat pendukungnya.


Demikian halnya tradisi masyarakat Manggarai dalam membagi tanah garapan/pertanian, para leluhurnya telah mewariskan suatu tradisi yang penuh nuansa filosofis, baik yang berhubungan dengan alam nyata maupun alam cita-cita. Lingko adalah salah satu perwujudan dari tradisi tersebut. Pada Lingko ini kita dapati kesatuan keluarga yang penuh nilai-nilai yang begitu ketat mengatur dan berpusat pada satu kepercayaan kekuatan utama yaitu Yang Maha Kuasa. Dalam tradisi tersebut memadukan antara kehidupan dunia leluhur yang tak kelihatan berpengaruh pada kehidupan nyata di muka bumi, oleh masyarakat Manggarai itu diwujudkan dalam berbagai persembahan pada setiap upacara kepada roh para leluhurnya. Hal tersebut dilakukan mulai dari pembagian lahan, pembukaan lahan, penanaman, sampai kepada hasil panen yang ditanam. Dengan mewujudkan suatu upacara pesta syukuran : Penti.

Multikulturalisme di Indonesia dalam Perspektif Sejarah

A.Pendahuluan

Indonesia adalah sebuah masyarakat bangsa yang terdiri dari berbagai etnik dengan kekayaan budayanya yang beragam. Terbentuknya bangsa Indonesia melalui sebuah proses dari perjuangan panjang dalam membebaskan diri dari penjajahan, proses tersebut tidak terhenti ketika bentuk negara diproklamirkan sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1945. Para pendiri bangsa ini juga menyadari bahwa terbentuknya sebuah negara bangsa atau nation-state yang diberi nama Indonesia itu dibangun di atas keanekaragaman.
Bangsa Indonesia yang terbentuk dari keragaman budaya dan berlandaskan prinsip persatuan dan kesatuan. Sejumlah kelompok etnik bergabung dan menyatukan diri untuk membentuk suatu negara dan bangsa kesatuan. Semangat nasionalisme didasari atas gagasan persatuan, penghargaan terhadap ikatan-ikatan primordial dianggap sebagai sesuatu yang perlu dan positif, karena ikatan itu memberikan rasa berakar dalam kebudayaannya sendiri yang pada gilirannya sebagai akar budaya bersama.
Keanekaragaman kebudayaan Indonesia itu disebabkan oleh sifat kenusantaraan negara Indonesia yang memisahkan suku-suku bangsa secara geografis, sehingga mengalami pertumbuhan yang berbeda-beda dimana setiap suku bangsa membentuk identitas budayanya sendiri-sendiri. Keanekaragaman budaya juga disebabkan oleh pengaruh kebudayaan luar yang secara bergelombang memasuki wilayah nusantara yang terletak di lalu lintas dunia yang strategis. Keanekaragaman tersebut pada satu sisi merupakan faktor positif yang mengandung kekayaan potensi kultural sehingga dapat dimanfaatkan sebagai potensi pembangunan, namun disisi lain juga dapat menjadi faktor yang menghambat pembangunan dengan potensi konfliknya.
Keberhasilan Indonesia sebagai sebuah “bangsa” dalam pengertian keberhasilannya muncul diantara bangsa-bangsa di dunia, tidak dapat dipandang sebagai hal biasa. Keberhasilan itu melalui sebuah perjuangan panjang dan mendaki bukit yang terjal yang penuh dengan ancaman sehingga banyak menuntut pengorbanan. Usaha para pendiri bangsa untuk mempersatukan bagian-bagian yang berbeda atau terpisah-pisah ke dalam suatu kesatuan dan mendorong loyalitas rakyat terhadap regional etnis, bahasa, dan religius untuk menjadi loyalitas nasional benar-benar perjuangan yang berat dan panjang.
Perjalanan itu dimulai dari lahirnya Budi Utomo 1908 sebagai perkumpulan kebangsaan Indonesia, disusul dengan berdirinya perhimpunan-perhimpunan kebangsaan yang lain, Sumpah Pemuda 1928 yang terkandung keinginan kuat untuk bersatu bangsa, bahasa dan tanah air meskipun dalam keberagaman sosial dan budaya.
Plurarisme budaya dari berbagai daerah, berbeda suku, ras, agama dan budaya telah dapat bersatu mencapai kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan serta berupaya membangun persatuan dan kesatuan Indonesia, tanpa membeda-bedakan adanya ikatan-ikatan primordialisme. Keberhasilan perjuangan kemerdekaan Indonesia secara politis diperkokoh melalui nuansa-nuansa ideologis kultural sehingga bangsa Indonesia benar-benar merasakan pohon kebangsaan yang dibanggakan. Walaupun dalam perjalanan bangsa ini dalam setiap periode atau orde mengalami pasang surut, namun dalam perjalanan panjang sejarah perkembangan Indonesia secara kultural termasuk perjalanan sejarah kebudayaan-kebudayaan daerah, diversitas unsur-unsur kebudayaan daerah diupayakan agar mampu berkembang menuju satu rajutan unitas, baik kultur daerah maupun kultur nasional sesuai dengan konsep Bhineka Tunggal Ika.


B. Multikulturalisme di Indonesia Dalam Perspektif Sejarah

Seperti telah diuraikan dalam pendahuluan di atas, bahwa keberhasilan Indonesia menjadi sebuah bangsa tidaklah mudah dan ada begitu saja. Proses adanya Indonesia sebagai nama sebuah bangsa cukup panjang. Nama Indonesiapun baru ada setelah memasuki sekitar abad ke-19, sebelumnya nama Indonesia disebut Nederland Indie (Hindia - Belanda), tanah jajahan Insulinde oleh Kolonial Belanda dan penduduknya disebut Inlander (Pribumi), namun nama Nusantara juga lebih menonjol setelah diperkenalkan oleh Ki Hajar Dewantara.
Penetapan nama Indonesia menjadi tanah air suatu bangsa bukanlah lahir secara tiba-tiba, nama tersebut merupakan garis kelanjutan dari gerakan Budi Utomo tahun 1908. Aktivitas itu dibawa oleh para pemuda Indonesia yang melanjutkan pendidikan ke Negeri Belanda, yaitu dengan berdirinya Indiesch Vereneging (Perhimpunan Hindie) yang kemudian menjadi Perhimpunan Indonesia.
Istilah Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh James Richardson Logan dalam tulisannya yang berjudul, “ The Ethnologi of Indian Archipelago” yang dimuat dalam journal of India and Eastern tahun 1850. Menurut J.R. Logan istilah Indonesia sama artinya dengan pulau-pulau atau kepulauan Hindia, penduduknya adalah bangsa Indonesia dari berbagai suku yang tersebar di pulau-pulau tersebut. Pada tahun 1884 Adolf Bastian memakai kata Indonesia dalam bukunya “Indonesien Order die Inseln der Melayishen Archipiles”, yang dimaksudkan adalah Kepulauan Melayu (Hindia) seperti yang telah disebut oleh J.R. Logan tahun 1850 (Leiressa, dkk., 1989 : 47). Semenjak itu istilah Indonesia banyak dipakai dalam ilmu Ethnologi, hukum adat, dan ilmu bahasa. Dalam hal ini para guru besar dan ilmuwan sosial dari Universitas Leiden berperan menyebarluaskan istilah Indonesia-Indonesien-Indonesisch.
Pada saat munculnya semangat kebangsaan, maka menguatlah keinginan untuk menggunakan nama pengenal bagi identitas kebangsaan yang sedang tumbuh. Maka nama “Indonesia” yang sudah cukup lama tersimpan dalam khasanah antropologi (James Richarson Logan dari Inggris tahun 1850 dan Adolf Bastian dari Jerman tahun 1884), mulai sering muncul dalam wacana kaum nasionalis. Dalam makna politisnya, para pelajar dan mahasiswa di Negeri Belanda yang berasal dari kawasan Nusantara ini pada tahun 1917 menggunakan nama “Indonesia” untuk organisasi mereka “ Indonesisch Verbond van Studerenden”. Ketika diasingkan di Negeri Belanda, Ki Hajar Dewantara pada tahun 1918 di Den Haag mendirikan “Indonesisch Perbureu” (Kantor Berita Indonesia). Nama Indonesia untuk bangsa muda yang sedang dibangun dengan penuh semangat itu digunakan Bung Hatta di Negeri Belanda dalam pledoinya “ Indonesia Merdeka” (Indonesie Vrij) bulan Maret 1928. Kemudian dikukuhkan dalam salah satu peristiwa yang amat menentukan bagi sejarah kita yaitu Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Dikobarkan lagi oleh Bung Karno dalam Pidato “ Indonesia Menggugat” (Indonesie Klag An), tahun 1930 (Nurcholis Madjid, 2004 : 35). Puncak dari semuanya itu adalah Proklamasi 17 Agustus 1945, itulah perjalanan panjang sebuah nama Indonesia yang akhirnya menjadi bangsa yang mendiami pulau-pulau Nusantara atau bekas wilayah Hindia Belanda.
Peran bahasa Melayu yang kelak berkembang menjadi Bahasa Indonesia, telah sejak lama sebagai “ lingua franca” tentu sangat penting dalam pembentukan Indonesia. Dengan penggarapan para cendikiawan modern Sumatera, khususnya Sumatera Barat bahasa Melayu berkembang menjadi bahasa modern sekarang ini. Dengan bahasa Melayu sebagai sahamnya, meminjam jargon dalam dunia komputer maka Sumatera dan Luar Jawa menyediakan “perangkat lunak” (sofware) bagi hakekat keindonesiaan. Sedangkan Pulau Jawa, yang selalu berperan sebagai pusat kekuasaan dalam ukuran besar dan luas menyediakan “perangkat keras” (hardware) baginya. Pembagian itu sejalan dengan pola budaya Indonesia yang secara garis besar mengenal adanya dua orientasi : yang lebih egaliter pada pola budaya pesisir (coostal culture) dan yang lebih hirarkis pada pola pedalaman. Keduanya dapat digambarkan pada dua kerajaan besar yang ada di Nusantara yaitu Sriwijaya dengan falsafah Budhisme yang bersemangat bahari (kelautan, maritim) dan Majapahit dengan falsafah Hinduisme yang kekuatannya banyak bertumpu pada kesuburan tanah-tanah pertanian pedalaman Jawa.
Tetapi pada perkembangannya Majapahit juga mengembangkan kekuatan dan kekuasaan bahari yang ekspansif, maka muncul ide dari Empu Tantular seorang Filosof Kerajaan Majapahit untuk mengusahakan rekonsiliasi antara berbagai aliran keagamaan yang ada, dalam semangat kemajemukan atau plurarisme atas dasar keyakinan tentang adanya kesatuan esensial dibalik perbedaan formal. Semuanya beraneka ragam, namun hakekatnya satu jua, sebab tidak ada jalan kebaktian atau kebaikan yang mendua tujuan “Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangroa”. Walaupun begitu, perbedaan relatif tidak mungkin dihapuskan, dan perpaduan pola budaya pesisir dan pedalaman itu tetap mempengaruhi bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Namun kita juga menyadari bahwa Indonesia sekarang ini bukanlah Sriwijaya dan Majapahit. Indonesia sekarang adalah sebuah kreatifitas abad ke-20, Indonesia merupakan hasil rumusan bersama atau dialog para pelajar/mahasiswa atau orang-orang cerdas, terdidik dan tercerahkan (Anhar Gonggong : 2007). Sebagai sebuah ikatan kebangsaan, entitas Indonesia tidak pernah ada sebelumnya dan baru muncul pada abad ke-20, serta mencapai puncaknya ketika sebuah bangsa dan negara baru diproklamirkan pada tahun 1945. Sejak saat itu semua penduduk yang ada di bekas wilayah Hindia Belanda itu kemudian menyebut diri mereka, atau disebut sebagai bangsa Indonesia. Secara perlahan-lahan baik melalui proses alami maupun produk dari rekayasa sosial-politik, Indonesia tidak lagi hanya dipahami sebagai identitas politis melainkan telah berkembang juga sebagai identitas sosiologis dan kultural.
Begitulah perjalanan panjang berdirinya sebuah Negara-Bangsa “Indonesia”, kita semua juga harus bisa memahami hakekat ataupun pengertian dari sebuah “negara-bangsa” atau nation state. Negara - bangsa adalah suatu gagasan tentang negara yang didirikan untuk seluruh bangsa, pengertian bangsa atau nation dalam bahasa Arab sering diungkapkan dengan istilah Ummah (ummatun, umat) seperti “United Nation” – “Persatuan Bangsa-Bangsa” yang terjemah Arabnya “ Al Umam al-Muttahidah “ “Umat-Umat Bersatu. Jadi negara-bangsa adalah negara untuk seluruh umat, yang didirikan berdasarkan kesepakatan bersama yang menghasilkan kontraktual dan transaksional terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan kesepakatan tersebut. Tujuan negara-bangsa adalah mewujudkan maslahat umum (dalam pandangan negara disebut salaf padanan pengertian dari general welfare) suatu konsep tentang kebaikan yang meliputi seluruh warga negara tanpa kecuali (Nurcholis Madjid, 2004 : 42-43). Sedangkan menurut Benedict Anderson, bangsa adalah merupakan suatu “komunitas terbayang” . Para anggota bangsa terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota yang lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka. Hal terpenting dalam tetap berdirinya sebuah bangsa adalah adanya perasaan kebersamaan dan persaudaraan sebagai anggota komunitas bangsa tersebut (Benedict Anderson, 2001 : 8).
Demikian juga bangsa Indonesia yang dibangun di atas perbedaan karena para warga bangsanya mendiami berbagai pulau yang dipisahkan baik besar maupun kecil. Hubungan antar pulau selalu tidak mudah sehingga masing-masing pulau sedikit banyak terisolasi satu dengan yang lainnya, hal tersebut mendorong tumbuhnya ciri-ciri kesukuan, kebahasaan dan kebudayaan yang berbeda-beda. Bahkan dalam pulau besarpun pola kesukuan dan kebudayaan yang berbeda-beda terdorong muncul dengan sifat khas masing-masing menurut lingkungannya. Semuanya itu disebabkan oleh keadaan geografis dan topografisnya yang menyebabkan terbentuknya wilayah yang terpisah satu dengan lainnya. Untuk itu wawasan multikultural perlu untuk dipahami dan dimaknai bagi segenap bangsa Indonesia.
Keanekaragaman budaya dalam suatu bangsa itu dari satu sisi adalah kekayaan, tetapi dari sisi lain adalah kerawanan. Sebagai kekayaan, keanekaragaman budaya dapat dibandingkan dengan keanekaragaman nabati. Keanekaragaman itu dapat menjadi sumber pengembangan budaya hibrida yang kaya dan tangguh , melalui penyuburan silang budaya (cros-cultural fertilization). Berbagai bentuk penyuburan silang budaya telah terjadi, tetapi pada umumnya merupakan hal-hal ‘kebetulan” sebagai akibat sampingan interaksi perdagangan regional yang ditunjang oleh kekuasaan politik. Peranan kekuasaan – kekuasaan besar seperti Sriwijaya, Majapahit dan Aceh penting sekali dalam proses penyuburan silang budaya di Nusantara. Pengaruh silang itu dapat dikenali pada adanya unsur-unsur kosmopolit dan universal dalam banyak segi budaya umum kawasan nusantara.
Sebagai kerawanan, keanekaragaman budaya melemahkan kohesi antar suku dan pulau. Karena itu wilayah nusantara akan rentah terhadap penaklukan dan penjajahan dari luar. Usaha penguatan kohesi beberapa bagian atau seluruh Nusantara melalui penyatuan dalam kekuasaan politik tunggal pernah beberapa kali terjadi seperti oleh kerajaan-kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Aceh. Tetapi usaha – usaha itu menghasilkan suatu penyatuan wilayah yang tidak persis sama dengan wilayah Indonesia modern sekarang. Di satu sisi hasil penyatuan itu lebih kecil daripada Indonesia sekarang, karena tidak mencakup seluruh wilayah dari Sabang sampai Merauke. Disisi lain, hasil penyatuan itu lebih besar daipada wilayah Indonesia sekarang ini, karena mencakup pula wilayah-wilayah di luar lingkungan Sabang-Merauke, seperti Semenanjung Melayu, Kalimantan Utara, Mindanao, bahkan sampai ke pulau Formusa dan Madagaskar.
Ketika bangsa telah menikmati perjalanan, sadar atau tidak para pemimpin atau penguasa di Republik ini banyak melakukan ketidaksetiaan asas atau inkonsistensi yang mencemaskan. Negara – negara pascakolonial termasuk Indonesia sebagian besar dikelola berdasarkan kombinasi antara kekuatan dan kerentanan birokrasi sipil dan militer yang diwarisi dari penguasa kolonial telah memberi kekuatan untuk mengelola negara, namun pada saat yang sama kedudukan negara sangat rentan karena birokrasi yang ada tidak terintegrasi dengan komunitas politik di dalam masyarakat. Nasionalisme yang merupakan imajinasi konseptual dari sebuah komunitas terbayang dalam membangun solidaritas bersama seperti yang dikatakan Ben Anderson di sebagian negara baru termasuk Indonesia diartikan sebagai identitas pascaetnik yang menafikan kenyataan multikultural namun ironisnya cenderung tidak netral secara etnik.
Negara kemudian cenderung memaksakan hegemoni tertentu yang diambil dari etnik atau etnik-etnik tertentu sebagai sebuah nilai tunggal yang harus dipatuhi oleh kelompok dan komunitas lain atas bangsa. Kelompok dan komunitas lain mersakan diri sebagai minoritas atau kelompok yang tertindas. Sebagai reaksi, kelompok atau komunitas ini menuntut kesetaraan politik, pembagian keuntungan ekonomi dan hak yang lebih besar, atau bahkan negara yang terpisah dan bangsa yang merdeka, akibatnya konflik identitas tidak dapat dihindari.
Pada masa Orde Baru ada kecenderungan seperti di atas, hal tersebut dapat dilihat suatu keinginan kuat untuk menyeragamkan kehidupan nasional, khususnya bidang politik dan pemerintahan. Sistem-sistem pemerintahan daerah berangsur-angsur digiring untuk menerapkan sistem yang seragam dengan mengikuti model etnik tertentu dalam hal ini yang ada di Jawa. Kecenderungan kuat untuk melakukan penyeragaman dengan implikasi pemaksaan dari atas telah mendorong tumbuhnya perasaan tidak puas daerah kepada pusat, yang pada urutannya ikut memicu pergolakan daerah. Ditambah dengan tipisnya kadar keadilan dalam pembagian kembali kekayaan nasional, khususnya kekayaan yang datang dari daerah bersangkutan, pergolakan daerah mudah sekali berkembang menjadi perlawanan untuk memisahkan diri (sparatisme) dan itu sangat mengganggu integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sentralisasi kekuasaan yang didukung oleh militer demi stabilitas yang berlebihan telah menumbuhkan bibit-bibit disintegrasi bangsa dan erosi kesadaran nasional sehingga muncul kasus-kasus pergolakan daerah seperti di Aceh, Maluku, Papua dan Riau. Gejala itu merupakan ancaman pada kedaulatan dan memicu maraknya krisis nasional yang multidimensional.
Berkenaan dengan hal di atas, tindakan yang terbaik ialah kembali memahami dan konsisten terhadap semangat motto negara kita, Bhineka Tunggal Ika. Karena itu kita harus menghargai pola-pola budaya daerah dan mengakui hak masing-masing untuk mengembangkan budaya mereka. Kita harus menerima kebhinekaan sebagai kekayaan, dan serentak dengan itu kita memelihara keekaan berdasarkan kepentingan bersama secara nasional. Kita harus memandang budaya daerah sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan sebagai perwujudan kearifan lokal yang harus dijaga keutuhan dan kelestariannya. Keanekaragaman budaya itu harus dijadikan pijakan untuk “berlomba-lomba menuju kepada kebaikan” Sebagaimana telah disinggung di atas berlomba untuk menciptakan suasana penyuburan silang budaya yang akan memperkaya dan menguatkan budaya nasional sebagai budaya hibrida yang unggul dan tangguh. Dalam hal ini, tidak satupun budaya daerah yang terkecualikan. Semuanya itu merupakan inti dari semangat sebenarnya ungkapan Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangroa, budaya-budaya daerah harus ditempatkan dengan penuh penghargaan begitu rupa sehingga tetap memperoleh pengakuan yang sah sebagai bentuk – bentuk kearifan lokal yang memperkaya budaya dan kearifan nasional. Hal tersebut sesuai dengan paham Multikulturalisme yaitu sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta sebuah penghormatan tentang budaya orang atau etnis lain.


C. P e n u t u p

Perlunya di masa sekarang membangun sebuah kesadaran untuk menelaah ulang hakekat kehidupan berbangsa. Pemahaman tentang kebangsaan Indonesia yang dibangun sejak masa silam, masa kesadaran kebangsaan terhadap perlawanan kepada penjajah, masa kebangkitan nasionalme moern, mempertahankan kemerdekaan, masa berbangsa di era demokrasi terpimpin, masa otoriter orde baru hingga masa reformasi yang didalamnya terdapat krisis yang berkepanjangan hingg saat ini.
Dalam perspektif sejarah, bangsa Indonesia dibangun atas kebersamaan dan kesadaran diantara bagian-bagian yang berbeda atau terpisah-pisah ke dalam suatu kesatuan , dari loyalitas regional, etnis, bahasa, budaya, dan religius. Keanekaragaman tersebut pada masa lalu telah diungkapkan dengan sesanti “Bhineka Tunggal Ika” hal tersebut dimaksudkan sebagai pengakuan positif kepada keanekaragaman yang ada. Kesuksesan Indonesia sebagai “bangsa” dalam pengertian keberhasilannya muncul diantara bangsa-bangsa di dunia didahului dengan perjuangan yang sangat panjang dan membutuhkan pengorbanan. Perjuangan panjang tersebut mencapai puncaknya ketika bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, namun perjuangan tersebut tidak berhenti sampai disitu. Tantangan dan ancaman terus ada didepan kita, mulai dari krisis ekonomi, konflik, sparatisme yang semuanya itu mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Indonesia dibangun di atas berbagai keanekaragaman, dalam keaneka ragaman budaya dari satu sisi merupakan sebuah kekayaan manakala bisa saling memahami dan saling menghargai sebagaimana paham multikulturalisme yaitu sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya orang lain. Sebagai sebuah kerawanan, keanekaragaman budaya melemahkan kohesi antar suku dan pulau. Kecenderungan kuat untuk melakukan penyeragaman dengan implikasi pemaksaan dari atas justru menimbulkan perasaan tidak puas dari daerah terhadap pusat, hal tersebut bisa menimbulkan berbagai konflik , kerusuhan maupun sparatisme.
Berkenaan dengan hal tersebut, tindakan kita yang terbaik adalah kembali kepada konsistennya semangat motto negara kita “Bhineka Tunggal Ika”. Keanekaragaman merupakan suatu hal yang wajar, bahkan mungkin merupakan kodrat kehidupan , termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini juga telah disadari oleh para pendahulu kita bahkan nenek moyang kita, sehingga banyak sekali dijumpai simbol-simbol yang menunjukkan situasi keanekaragaman. Keanekaragaman tersebut akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan jaman, sehingga semakin penting untuk dikelola melalui penghayatan dan penghargaan akan perbedaan tersebut, dan bukan penyeragaman atau pengekangan dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik di kemudian hari.
Dengan menghayati dan menghargai keanekaragaman tersebut, akan mengkristal keharmonisan dan keutuhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga terhindarlah bangsa Indonesia dari situasi krisis dan disintegrasi bangsa. Sesuai dengan paham multikulturalisme, kita haruis menghargai pola-pola budaya daerah dan mengakui hak masing-masing untuk mengembangkan budaya mereka. Kita harus menerima kebhinekaan sebagai kekayaan, dan serentak dengan itu kita memelihara keekaan berdasarkan kepentingan bersama secara nasional. Kita harus bisa memandang budaya daerah yang sejalan dengan nilai kemanusiaan sebagai perwujudan kearifan lokal yang harus dijaga keutuhan dan kelestariannya. Keanekaragaman tersebut harus dijadikan pijakan untuk "berlomba-lomba menuju kepada kebaikan”. Sehingga perlombaan tersebut akan menciptakan suasana penyuburan silang budaya yang akan memperkaya dan memperkuat budaya nasional sebagai budaya hibrida yang unggul dan tangguh. Dalam hal ini tidak satupun budaya daerah yang terkecualikan.


Daftar Pustaka

Leirissa, dkk., 1989. Sejarah Pemikiran Tentang Sumpah Pemuda. Jakarta : Depdikbud, Proyek IDSN
Leirissa, 2004. “ Teori Sejarah” Makalah dalam Pelatihan Tenaga Teknis Kesejarahan Tingkat Lanjutan tahun 2004 di Depok.
A.A. Ayu Rai Wahyuni, 2005. “ Nasionalisme dan Penghargaan Terhadap Keberagaman”. Makalah Seminar Sejarah dalam Rangka Ulang Tahun Jurusan Sejarah Fak. Sastra Unud ke-41 Tahun 2005
Sartono Kartodirdjo, 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historigrafi Indonesia : suatu Alternatif. Jakarta : Gramedia
Sartono Kartodirdjo, 1999. Multidimensi Pembangunan Bangsa. Yogyakarta : Kanisius
Nurcholis Madjid, 2004. Indonesia Kita. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Bambang Purwanto, 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris ?. Yogyakarta : Ombak
Robert W. Hofner, ed., 2007. Politik Multikulturalisme Menggugat Realitas Kebangsaan. Yogyakarta : Kanisius
Susanto Zuhdi, 2000. “ Integrasi Bangsa Dalam Perspektif Sejarah”. Makalah Diskusi dan Temu Tokoh di BKSNT Denpasar tanggal 27 Juni 2000.
Benedict Anderson, 2001. Komunitas Terbayang, (terj.). Yogyakarta : INSIST
Anhar Gonggong, 2007. “ Melalui Kegiatan Lawatan Sejarah, Kita Tingkatkan Pemahaman Sejarah dan Semangat Nasionalisme” . Makalah pada Dialog Kesejarahan dalam rangka Lawatan Sejarah Daerah Bali 2007 di Hotel Dewi Karya Denpasar.
I Gde Suyatna, 2002. “Menghargai Kebhinekaan Budaya Daerah Sebagai Jatidiri Bangsa Dalam Rangka Menghindari Disintegrasi Bangsa”. Makalah pada Sarasehan Harkitnas 2002 di Jayasabha, Denpasar.
Taufik Abdullah, 2001. Nasionalisme dan Sejarah . Bandung Satya Historika
I Wayan Geriya., 2002. “Aktualisasi Jiwa dan Semangat Harkitnas akan Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa”. Makalah pada Sarasehan Harkitnas 2002 di Jayasabha, Denpasar.

Bali Pada Masa Pendudukan Jepang (Tahun 1942-1945)

A. Pendahuluan

Keterlibatan Jepang dalam Perang Dunia II ternyata membawa dampak sampai ke wilayah Hindia Belanda . Pada tanggal 8 Desember 1941 Jepang melancarkan Perang Asia Timur Raya atau Perang Pasifik dengan menyerang Pearl Harbour, Pangkalan Angkatan Laut Amerika di Laut Pasifik . Hal ini berlanjut dengan kekalahan sekutu termasuk di dalamnya Belanda sehingga mempengaruhi kedudukan Belanda di Hindia Belanda. Dengan penyerahan tanpa syarat Jenderal H. Ter Poorten selaku Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda di Kalijati tanggal 8 Maret 1942 (Onghokham, 1989 : 280). Hal tersebut menyebabkan Belanda tidak lagi menjalankan kekuasaannya di Hindia Belanda.

Pulau Bali yang tak luput dari sasaran Jepang, pada pertengahan bulan Februari 1942 di sebelah selatan Pulau Bali terjadi pertempuran antara sekutu dengan Jepang. Keadaan tersebut membuat panik masyarakat Bali, sehingga mereka banyak mengungsi. Dalam setiap pertempuran Jepang selalu unggul baik di darat, laut maupun udara. Demikian juga yang terjadi di Bali, setelah melakukan pendaratan di Pantai Padanggalak tanggal 17 Februari 1942 dan tanggal 19 Februari 1942 di Pantai Sanur, serdadu-serdadu alat pertahanan Hindia Belanda mundur teratur meninggalkan Kota Denpasar. Setelah itu kesatuan Prayoda membubarkan diri dan pulang ke kampong masing-masing.

Proses pendudukan Jepang di Bali berlangsung cepat, hal inilah yang membuat penduduk panik. Beberapa bulan setelah pendaratan di pantai Sanur keadaan menjadi pulih kembali, orang-orang mulai kembali dari pengungsian dan bekerja sebagaimana biasa. Perubahan situasi yang bertambah baik ini banyak dipengaruhi oeh karakteristik orang Jepang yang pada awalnya bersifat lebih sopan dan ramah. Kontak-kontak antara orang Jepang dengan masyarakat Bali mulai dari pemimpin-pemimpin masyarakat pada waktu itu terutama raja-raja dan para bangsawan lainnya, disamping para intelektual seperti pegawai pemerintahan dan para guru sekolah. Setelah seluruh daerah Bali, dapat dikuasai mulailah diadakan perubahan-perubahan dalam bidang pemerintahan yang mengikuti system pemerintahan Jepang.


B. Struktur Pemerintahan

Sistem Pemerintahan Jepang di Bali mempunyai struktur yang tidak jauh berbeda dengan struktur pemerintahan pada jaman Hindia Belanda sebelumnya. Perbedaannya hanyalah dalam penyebutan saja yaitu dengan memakai istilah Jepang. Pemerintah Jepang di Bali masih mengakui keberadaan kerajaan, namun disetiap kerajaan ditempatkan seorang penguasa Jepang yang disebut Bun Ken Kan Rikan, sedangkan raja hanya sebagai penghubung antara pemerintah Jepang dengan rakyat. Panggilan raja diganti dengan istilah Jepang yaitu dengan sebutan Syucho. Bali termasuk kedalam pemerintahan Kaigun dan semua peraturan terpusat kepada pemerintahan Kaigun di Makasar. Wilayah kekuasaan Kaigun ini dipimpin oleh seorang pegawai sipil yang disebut Menseibu, dibawahnya disebut Menseibu Cokan. Bali dipimpin oleh seorang Menseibu Cokan yang berkedudukan di Singaraja. Sedangkan susunan pemerintahan Jepang secara hirarki kebawah adalah sebagai berikut :

  1. Syo Sunda Mensibu berkedudukan di Singaraj yang mengepalai pemerintahan untuk daerah Bali dan Lombok, dipimpin denan istilah Menseibu Cho Kan.
  2. Nimbu Baliken yang meliputi daerah Bali dengan pusat pemerintahan di Kota Denpasar, dipimpin dengan istilah Ken Kan Ri Kan.
  3. Syu atau Kerajaan dengan pusat pemerintahan ada di masing-masing kerajaan, kepala pemerintahan disebut Syu Cho (Raja Pribumi) yang didampingi oleh seorang pejabat Jepang yang disebut Bun Ken Kan Ri Kan.
  4. Gun setingkat kecamatan yang pada waktu itu disebut distrik yang dikepalai oleh seorang Punggawa, pada masa Jepang diganti dengan sebutan Gun Cho.
  5. Di bawah Gun adalah Son yaitu Perbekel atau Kepala Desa yang disebut Son Cho. Ini merupakan lembaga pemerintahan tingkat paling bawah yang dibantu oleh petugas lainnya seperti Kelian untuk berhubungan langsung dengan rakyat.

Dengan melihat struktur pemerintahan seperti di atas maka jelaslah struktur birokrasi pemerintahan tradisional masih tetap dipertahankan sehingga denan demikian akan dapat mempermudah komunikasi pemerintah dengan rakyat, dan ini berarti usaha untuk meluaskan propaganda-propaganda Jepang bisa masuk ke pelosok-pelosok desa akan mudah. Pemerintah militer Jepang untuk di Bali yang paling tinggi adalah disebut Sirie mengawasi Angkatan Laut dan pemerintah sipil bersama-sama dengan bawahannya yang disebut Tohetei atau Tohubetsu Keisatsutai sebagai penjaga keamanan wilayah Bali.


C. Bidang Ekonomi

Perekonomian pada masa pendudukan Jepang di Bali memang kurang berkembang hal ini disebaban karena situasi dalam kedaaan perang,terutama bidang perdagangan dan impor lumpuh karena masing-masing pihak berusaha menghancurkan lawannya disegala bidang, terutama ekonomi. Karena sangat sulit maka Jepang berusaha untuk menciptakan keadaan ekonomi dimana tiaptiap daerah bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Disamping perekonomian diarahkan untuk mendukung kemenangan Jepang melawan sekutu. Pemerintah Jepang juga mendirikan suatu Badan Usaha yang berama Mitsua Busan Kaisha (MBK) yang merupakan suatu usaha atau badan usaha pengumpulan bahan makanan terutama pada dan alat penggilingnya.

Untuk mendapatkan minyak pelumas yang sanat diperlukan bagi kendaraan, senjata dan lainnya, maka rakyat dipertahankan untuk menanam pohon jarak. Untuk kebutuhan daging di Bali dilaksanakan denan cara membuat pabrik pengalengan daging di Denpasar yang bernama Taiwan Chikusan, daging yang dikalengkan adalah daging sapid dan babi. Kebutuhan akan karung goni untuk engangkut beras, maka rakyat diperintahkan menanam nenas, kemudian didirikan pabrik karung goni di Denpasar yang bernama Goshio.

Segala sesuatu yang berhubungan dengan produksi kebutuhan hidup pokok dkerahkan untuk keperluan perang. Dibuka pula took seperti Hei Kyu Kumiai yaitu semacam took serba ada yang mendistribusikan barang-barang produksi, tetapi terbatas pada kepentingan para pegawai Jepang dan itupun kalau ada sisa pengirian untuk perang. Sebaliknya barang-barang produksi dari pabrik-pabrik Jepang tidak ada kelihatan selain beberapa buah kendaraan bermotor untuk para pejabat dan beberapa buah buah sepeda yang banyak menggunakan ban karet mentah. Hal ini terjadi karena selama perang, politik industri Jepang berubah dari system membuat pakaian menjadi senjata, sedangkan kebutuhan sandang dan pangan diharapkan dari daerah pendudukan.


D. Bidang Kesehatan

Akibat adanya berbagai keterbatasan baik makanan maupun pakaian/sandang maka kesehatan masyarakat masih jauh terbelakang. Kesadaran akan pemeliharaan kesehatan masyarakat masih kurang sekali, kebiasaan-kebiasaan bagi orang-orang kampong yang dapat mengganggu kesehatan seperti mengambil air minum, membuang kotoran dan sebagainya belum banyak diperhatikan dan usaha memberikan penerangan dalam bidang kesehatan ini baru dimulai pada masyarakat kota saja. Demikian pula dalam kegiatan bidang olah raga belum sampai ke desa-desa.

Penyakit yang banyak diderita oleh penduduk adalah penyakit malaria yang timbul akibat selokan-selokan atau kolam yang tidak pernah dibersihkan. Penyakit-penyakit yang bersifat umum diantaranya adalah penyakit patek (frambosia) yang banyak terdapat di bagian desa Tianyar, Seraya, Angantelu khususnya di Kabupaten Karangasem. Disamping itu banyak juga penderita cacing, penyakit lepra dan penyakit Tubercolusa.

Akibat kekurangan bahan pakaian, penduduk sampai-sampai berpakaian dari tapis/serat tipis pada bagian pelepah daun kelapa. Penduduk hamper-ampir telanjang, karena kekurangan sandang. Disamping itu karena sabun cuci juga tidak ada, maka penduduk Bali memakai rerek untuk mencuci pakaian, sekedar supaya ada buihnya. Akibat sabun tidak ada, sehingga mengakibatkan tumbuhnya penyakit gatal yang diakibatkan oleh banyaknya kutu busuk yang dalam bahasa Balinya disebut Tuma. Jaman Jepang di Bali terkenal dengan nama jaman tuma atau penyakit kulit/gatal koreng kerek menurut istilah penduduk Bali saat itu


E. Bidang Pendidikan

Pemerintah pendudukan Jepang sanat memperhatikan masalah pendidikan karena sangat membutuhkan berbagai sumber daya untuk keperluan perang. Pendidikan ini dipergunakan untuk mendukung konsepsi Kemakmuran Asia Timur Raya tergantung pada Perang Asia Timur Raya. Untuk mendukung itu maka sekolah menjadi pendidikan yang bersifat militeristik dan tempat untuk meningkatkan Propaganda Gerakan “Tiga A” : Nippon Pemimpin Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Cahaya Asia. Penyelenggaraan pendidikan di Bali pendudukan Jepang dipelopori oleh suatu badan yang disebut “Saram Minseibu” yang memberi penerangan kepada pelajar-pelajar dan para pemuda dalam menyiapkan diri untuk kepentingan kemiliteran serta menanamkan semangat membela tanah air.

Sistem pendidikan mulai dirubah dari system pendidikan colonial Belanda ke system pendidikan Jepang dimana sekolah-sekolah semuanya dilebur menjadi sekolah pemerintah. Seperti kita maklumi bahwa sekolah-sekolah pada masa pemerintahan colonial Belanda terdapat perbedaan antara sekolah untuk orang-orang Eropa, Sekolah bumiputra dan sekolah swasta seperti Taman Siswa. Oleh karena terjadi penghapusan seperti sekolah-sekolah swasta dengan sendirinya sekolah Taman Siswa ikut dibubarkan.

Disamping menerima pelajaran seperti yang diajarkan pada masa sebelumnya yang penting pada waktu itu adalah menanamkan semangat Hakko Itiu yaitu menanamkan arti Perang Asia Timur Raya dan kemenangan di pihak Nippon. Oleh karena itu disamping belajar ilmu juga diajarkan baris-berbaris, latihan perang, mengerjakan kerajinan tangan seperti benang, merajut, membuat peralatan dari sabut kelapa dan sebagainya. Suatu hal yang dianggap penting pada waktu itu adalah para pelajar diwajibkan ikut menanam kapas dan pohon jarak seperti yang dikerjakan masyarakat banyak, dengan tujuan untuk membantu kepentingan perang.

Sekolah-sekolah tingkat Sekolah Menengah sudah ada didirikan semuanya dengan istilah bahasa Jepang seperti :

  1. Hutsu Chu Gakko ( Sekolah Menengah Umum)
  2. Katto Chu Gakko (Sekolah Menengah Atas)
  3. Kyo In Saidyo (Sekolah Guru Desa)
  4. Sihan Gakko (Sekolah Guru B)
  5. Katto Sihan Gakko ( Sekolah Guru A)

Disamping itu masih ada Sekolah Pertanian dan Sekolah Pertukangan. Adapun sekolah-sekolah menengah tersebut di atas didirikan di dua kota yaitu Singaraja dan Denpasar. Sistem pendidikannya hamper sama dengan Sekolah Dasar, hanya pengetahuan dan mata pelajarannya ditingkatkan. Kegiatan anak-anak sekolah ditujukan kepada pengetahuan yang praktis dan ditanamkan disiplin militer yang kuat. Pada tingkat Sekolah Menengah bahasa Jepang lebih diaktifkan juga pelajaran menulis dan emmbaca huruf Jepang dari yang paling dasar yaitu Katakana, Hiragana sampai ke huruf Kanji. Dilihat dari waktu yang singkat itu yaitu kurang lebih hanya 2 sampai 3 tahun, pendidikan Jepang di Bali belumlah dapat dilihat hasilnya secara pasti karena menjelang saat-saat jatuhnya Jepang dan bangkitnya bangsa Indonesia merebut kemerdekaan banyak pemuda-pemuda pelajar yang ikut gerakan-gerakan, sehingga peretengahan bulan Agustus 1945, sekolah-sekolah menengah di Bali bubar karena situasi pada saat itu mulai bergolak.


F. Pembentukan PETA

Untuk memperkuat pertahanan Jepang di Asia Timur Raya dengan Gerakan Tiga A, Jepang memobilisir kekuatan pemuda seperti Seinendan (barisan pemuda), Keibodan (Barisan Pembantu Polisi), dan Heiho. Disamping beberapa organisasi tersebut, pemerintah Jepang juga mengoranisir kesatuan militer dengan PETA (Pembela Tanah Air) yang diumumkan pada tanggal 3 Oktober 1943. Di Bali penerimaan PETA baru diumumkan pada permulaan tahun 1944. Tempat latihan PETA di Bali diselengarakan di Banyumala Singaraja. Setelah para pemuda mendaftar masuk, mengikuti latihan selama kurang lebih tiga bulan, maka pada tanggal 15 Juni 1944 diadakan upacara pemberian ijazah yang ditandatangani oleh pimpinan tertinggi balatentara Jepang yaitu Saiko Sikikan di Jakarta, acara tersebut berlangsung di Banjar Jawa Singaraja. Dalam upacara tersebut para daianco dan chudanco diberi pedang jenis Jepang bikinan Indonesia. Pedang ini bukan pedang Jepang sejati dan panjangnya kurang daripada pedang yang dipergunakan oleh para perwira Jepang.

Para perwira dan bintara setelah dilatih kemudian ditempatkan di tiga daidan/tangsi Jepang di Bali. Ketiga daidan itu adalah :

  1. Daidan ke-1 di Negara (Jembrana) membawahi Jembrana dan Buleleng.
  2. Daidan ke-2 di Kediri membawahi wilayah Tabanan dan Denpasar.
  3. Daidan ke-3 di Gunaksa/Klungkung membawahi wilayah Bali Timur (Gianyar, Bangli, Karangasem, dan Klungkung)

Penempatan daidan tersebut berjauhan letaknya, sesuai dengan tugas tentara PETA, yaitu sebagai tentara territorial untuk mempertahankan wilayah sampai titik darah penghabisan.

Personalia perwira ketiga daidan PETA di Bali adalah sebagai berikut :

  1. Shikokan/perwira pembimbing adalah orang Jepang yaitu Letnan Mishima untuk daidan Negara, Letnan Kawate untuk daidan Tabanan, Letnan Yamazaki untuk daidan Klungkung.
  2. Didanco/komandan daidan : I Made Putu/daidan Negara, I Gusti Ngurah Gde Pugeg/daidan Kediri, Anak Agung Gde Agung/daidan Klungkung.
  3. Shudancho : Daidan Negara yaitu I Gusti Agung Bagus Mayun, Dewa Made Suwija, I Made Muka, Dewa Nyoman Teges. Daidan Kediri yaitu I Putu Serangan, Anak Agung Anom Asta, I Gusti Putu Wisnu, I Gusti Mataram. Daidan Klungkung yaitu Anak Agung Ketut Karang, Cokorda Anom Putra, Anak Agung Gde Karang, I Gusti Bagus Sugianyar.
  4. Shodanco : Daidan Negara yaitu I Gusti Ngurah Partha, I Gusti Made Binda, I Gusti Nengah Wirtha Tamu. Daidan Kediri yaitu Gusti Ngurah Pindha, I Made Pugeg, I Gusti Made Oka, I Nyoman Sarja Udaya. Daidan Klungkung : Ida Bagus Ngurah Geg, I Gusti Ketut Pugeg, Cokorda Agung, Anak Agung Rai Losog.
  5. Budanco : Daidan Negara yaitu Dewa Nyoman Nesa, Nyoman Nirba, IGusti Ketut Sugriwa, I Gusti Ngurah Mataram. Daidan Kediri yaitu Nengah Arti, I Made Cateri, I Gusti Putu Tiaga, I Gusti Made Alit. Daidan Klungkung yaitu I Ketut Kenak, I Made Gede, I Nyoman Cekug, I Nyoman Maruta.

Persenjataan ketiga daidan di Bali adalah sebagai berikut : 960 senapan, 110 pistol, 12 senapan mesin ringan, 33 senpan mesin berat dan 6 mortir parit. Dengan memperhatikan kekuatan satu daidan 535 orang, maka jumlah para pemuda Bali yang menjadi anggota PETA adalah kurang lebih 1600 orang, yang kemudian dalam revolusi fisik di Bali menjadi kekuatan inti dalam menentang Belanda.

PETA dibubarkan secara resmi oleh pemerintah Jepang pada tanggal 18 Agustus 1945 setelah Jepang menyerah kepada Sekutu. Jepang merasa khawatir bahwa PETA tidak akan dapat dikendalikan, sedangkan Jepang sendiri berfungsi hanya menjaga ketertiban dan keamanan sambil menunggu kedatangan sekutu (Nugroho Notosusato, 1976 : 59). Sedangkan PETA di Bali baru dibubaran pada tanggal 20 Agustus 1945. Dengan alasan semua senjata akan diganti, maka semua senjata dikumpulkan dalam gudang, sementara semuaanggota PETA apel. Senjata-senjata itu kemudian diangkut dengan truk menuju Denpasar. Tentara PETA kemudian dibubarkan, sehubungan dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu serta pembubaran PETA di tingkat pusat. Para anggota PETA diperintahkan pulang ke kampong halamannya masing-masing.


G. Penutup

Masa pendudukan Jepang merupakan pengalaman berat dan pahit bagi kebanyakan orang Indonesia. Perioe ini merupakan suatu masa peralihan yang memberikan warna tersendiri dalam kehidupan angsa Indonesia. Walaupun masa pendudukan Jepang hanya berlangsung “seumur jagung” (sangat singkat antara tahun 1942-1945), namun dampaknya terhadap perkembangan peristiwa ini kemudian menjadi besar. Kekuatan Kolonial Belanda yang mapan selama kurang lebih tiga setengah abad telah dihancurkannya dalam waktu yang sangat singkat sekali. Dilihat dari dari kedudukan bangsa Indonesia masa kini, periode ini sangat penting untuk memahami keadaan yang dialami sekarang. Selama masa pendudukan Jepang telah terjadi anyak perubahan yang akibat-akibatnya masih dirasakan pada waktu sekarang ini di berbagai kehidupan masyarakat. Tidak ada yang akan menyangkal, bahwa masa pendudukan Jepang yang lamanya hanya sekitar 40 bulan itu merupakan “latihan” mental maupun fisik bagi bangsa Indonesia, yang besar manfaatnya dalam menghadapi pahit getirnya perjuangan merebut kemerdekaan. Sehingga ada yang mengatakan bahwa jaman Jepang dianggap sebagai prolog daripada Revolusi Indonesia.

Umumnya pada waktu itu kedatangan Jepang di Indonesia disambut dengan penuh harapan karena dianggap sebagai “pembebas’. Slogan bahwa “Asia telah dikembalikan kepada Asia” telah memberikan harapan bahwa kemerdekaan bangsa yang didamba-dambakan akan segera menjadi kenyataan. Propaganda Jepang dengan gerakan “Tiga A” juga mendapat duungan dari hamper semua kelompok masyarakat, dimana Jepang telah mendudukinya. Hal tersebut juga terjadi di Pulau Bali, ketika Jepang secara resmi mengambil alih kekuasaan Kolonial Belanda pada tanggal 23 Februari 1942. Setelah Bali dapat diduduki oleh Angkatan Laut Jepang akhirnya seluruh Bali dapat dikuasai Jepang dan mulailah diadakan perubahan-perubahan dalam bidang pemerintahan serta dimulainya berbagai propaganda untuk mendukung Jepang dalam Perang Asia Timur Raya. Berbagai organisasi yang pada dasarnya dibentuk untuk peperangan didirikan dengan melakukan perekrutan terhadap pemuda. Hampir segala kativitas baik perekonomian, pendidikan dan perdagangan segalanya ditujukan untuk mendukung kemenangan perang Jepang.

Setelah beberapa waktu berlangsung, harapan yang didambakan masyrakat Indonesia terhadap Jepang justru sebaliknya. Segala aktivitas-aktivitas yang dilakukan rakyat pribumi sebagian besar tidak ada artinya bagi kepentingan masyarakat Bali, karena semua kegiatan semata-mata kepentingannya ditujukan untuk perlengkapan dan persediaan perang. Semua pekerjaan seolah-olah dipaksakan dengan system kekerasan, rakyat dengan sendirinya merasa takut, cemas dan tidak pernah mengalami kesenangan apalagi dengan situasi yang serba kurang sandang dan kurang pangan. Rasa simpati terhadap balatentara Jepang akhirnya memudar dan berubah menjadi kebencian. Hingga akhirnya Jepang menyerah kepada sekutu dan meninggalkan wialayah Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

AB. Lapian dan Jr. Chaniago, ed., 1988. Dibawah Pendudukan Jepang, Kenangan Empat Puluh Dua Orang Yang Mengalaminya. Seri Penerbitan Sejarah Lisan No. 4, Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

AA. Gde Putra Agung, I Nengah Musta, 1991/1992. Sejarah Pendidikan Daerah Bali. Proyek Inventarisasai dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Bali, Ditjenbud, Depdikbud.

------------------------, 1992/1993. Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Bali. Proyek P2NB Bali, Depdikbud.

Arniati Prasedyawati Herkusumo, 1982. Chuo-Sangi-in, Dewan Pertimbangan Pusat Pada Masa Pendudukan Jepang. Jakarta : Rosda Jaya Putra

Bambang Purwanto, 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?! . Yogyakarta : Ombak

Djohan Makmur, dkk., 1993. Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Penjajahan. Jakarta : Depdikbud

Geoffrey Robinson, 2006. Sisi Gelap Pulau Dewata, Sejarah Kekerasan Politik. Yogyakarta : LkiS

George Mc. Turnan Kahin, 1980. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Terj. Ismail bin Muhammad dan Zaharom bin Abdul Rashid. Kualalumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia.

Harry J. Benda, 1980. Bulan Sabit Matahari Terbit, Islam Indonesia Masa Pendudukan Jepang. Terjemahan Daniel Dhakidae. Jakarta : Pustaka Jaya

Ide Anak Agung Gde Agung, 1993. Kenangan Masa Lampau, Zaman Hindia Belanda dan Masa Pendudukan Jepang di Bali. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

I Gusti Ngurah Rai Mirsha, dkk.1986. Sejarah Bali. Proyek Penyusunan Sejarah Bali, Pemda TK I BALI.

Kuntowijoyo, 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta : Bentang Budaya

Louis Gottschalk, 1975. Mengerti Sejarah. Terjemahan Nugroho Notosusanto. Jakarta : Universitas Indonesia Press

Nugroho Notosusanto, 1976. Tentara PETA Pada Zaman Pendudukan Jepang di Indonesia. Jakarta : Gramedia

Nuryahman, “Gerakan Bawah Tanah Dengan Semangat Anti Jepang di Bali Tahun 1942 – 1945”. (Naskah belum diterbitkan), Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Denpasar 2002.

Nyoman S. Pendit, 1979. Bali Berjuang. Jakarta : Gunung Agung

Onghokham, 1989. Runtuhnya Hindia – Belanda. Jakarta : Gramedia