Bangsa Indonesia yang terbentuk dari keragaman budaya dan berlandaskan prinsip persatuan dan kesatuan. Sejumlah kelompok etnik bergabung dan menyatukan diri untuk membentuk suatu negara dan bangsa kesatuan. Semangat nasionalisme didasari atas gagasan persatuan, penghargaan terhadap ikatan-ikatan primordial dianggap sebagai sesuatu yang perlu dan positif, karena ikatan itu memberikan rasa berakar dalam kebudayaannya sendiri yang pada gilirannya sebagai akar budaya bersama.
Keanekaragaman kebudayaan Indonesia itu disebabkan oleh sifat kenusantaraan negara Indonesia yang memisahkan suku-suku bangsa secara geografis, sehingga mengalami pertumbuhan yang berbeda-beda dimana setiap suku bangsa membentuk identitas budayanya sendiri-sendiri. Keanekaragaman budaya juga disebabkan oleh pengaruh kebudayaan luar yang secara bergelombang memasuki wilayah nusantara yang terletak di lalu lintas dunia yang strategis. Keanekaragaman tersebut pada satu sisi merupakan faktor positif yang mengandung kekayaan potensi kultural sehingga dapat dimanfaatkan sebagai potensi pembangunan, namun disisi lain juga dapat menjadi faktor yang menghambat pembangunan dengan potensi konfliknya.
Keberhasilan Indonesia sebagai sebuah “bangsa” dalam pengertian keberhasilannya muncul diantara bangsa-bangsa di dunia, tidak dapat dipandang sebagai hal biasa. Keberhasilan itu melalui sebuah perjuangan panjang dan mendaki bukit yang terjal yang penuh dengan ancaman sehingga banyak menuntut pengorbanan. Usaha para pendiri bangsa untuk mempersatukan bagian-bagian yang berbeda atau terpisah-pisah ke dalam suatu kesatuan dan mendorong loyalitas rakyat terhadap regional etnis, bahasa, dan religius untuk menjadi loyalitas nasional benar-benar perjuangan yang berat dan panjang.
Perjalanan itu dimulai dari lahirnya Budi Utomo 1908 sebagai perkumpulan kebangsaan Indonesia, disusul dengan berdirinya perhimpunan-perhimpunan kebangsaan yang lain, Sumpah Pemuda 1928 yang terkandung keinginan kuat untuk bersatu bangsa, bahasa dan tanah air meskipun dalam keberagaman sosial dan budaya.
Plurarisme budaya dari berbagai daerah, berbeda suku, ras, agama dan budaya telah dapat bersatu mencapai kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan serta berupaya membangun persatuan dan kesatuan Indonesia, tanpa membeda-bedakan adanya ikatan-ikatan primordialisme. Keberhasilan perjuangan kemerdekaan Indonesia secara politis diperkokoh melalui nuansa-nuansa ideologis kultural sehingga bangsa Indonesia benar-benar merasakan pohon kebangsaan yang dibanggakan. Walaupun dalam perjalanan bangsa ini dalam setiap periode atau orde mengalami pasang surut, namun dalam perjalanan panjang sejarah perkembangan Indonesia secara kultural termasuk perjalanan sejarah kebudayaan-kebudayaan daerah, diversitas unsur-unsur kebudayaan daerah diupayakan agar mampu berkembang menuju satu rajutan unitas, baik kultur daerah maupun kultur nasional sesuai dengan konsep Bhineka Tunggal Ika.
B. Multikulturalisme di Indonesia Dalam Perspektif Sejarah
Penetapan nama Indonesia menjadi tanah air suatu bangsa bukanlah lahir secara tiba-tiba, nama tersebut merupakan garis kelanjutan dari gerakan Budi Utomo tahun 1908. Aktivitas itu dibawa oleh para pemuda Indonesia yang melanjutkan pendidikan ke Negeri Belanda, yaitu dengan berdirinya Indiesch Vereneging (Perhimpunan Hindie) yang kemudian menjadi Perhimpunan Indonesia.
Istilah Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh James Richardson Logan dalam tulisannya yang berjudul, “ The Ethnologi of Indian Archipelago” yang dimuat dalam journal of India and Eastern tahun 1850. Menurut J.R. Logan istilah Indonesia sama artinya dengan pulau-pulau atau kepulauan Hindia, penduduknya adalah bangsa Indonesia dari berbagai suku yang tersebar di pulau-pulau tersebut. Pada tahun 1884 Adolf Bastian memakai kata Indonesia dalam bukunya “Indonesien Order die Inseln der Melayishen Archipiles”, yang dimaksudkan adalah Kepulauan Melayu (Hindia) seperti yang telah disebut oleh J.R. Logan tahun 1850 (Leiressa, dkk., 1989 : 47). Semenjak itu istilah Indonesia banyak dipakai dalam ilmu Ethnologi, hukum adat, dan ilmu bahasa. Dalam hal ini para guru besar dan ilmuwan sosial dari Universitas Leiden berperan menyebarluaskan istilah Indonesia-Indonesien-Indonesisch.
Pada saat munculnya semangat kebangsaan, maka menguatlah keinginan untuk menggunakan nama pengenal bagi identitas kebangsaan yang sedang tumbuh. Maka nama “Indonesia” yang sudah cukup lama tersimpan dalam khasanah antropologi (James Richarson Logan dari Inggris tahun 1850 dan Adolf Bastian dari Jerman tahun 1884), mulai sering muncul dalam wacana kaum nasionalis. Dalam makna politisnya, para pelajar dan mahasiswa di Negeri Belanda yang berasal dari kawasan Nusantara ini pada tahun 1917 menggunakan nama “Indonesia” untuk organisasi mereka “ Indonesisch Verbond van Studerenden”. Ketika diasingkan di Negeri Belanda, Ki Hajar Dewantara pada tahun 1918 di Den Haag mendirikan “Indonesisch Perbureu” (Kantor Berita Indonesia). Nama Indonesia untuk bangsa muda yang sedang dibangun dengan penuh semangat itu digunakan Bung Hatta di Negeri Belanda dalam pledoinya “ Indonesia Merdeka” (Indonesie Vrij) bulan Maret 1928. Kemudian dikukuhkan dalam salah satu peristiwa yang amat menentukan bagi sejarah kita yaitu Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Dikobarkan lagi oleh Bung Karno dalam Pidato “ Indonesia Menggugat” (Indonesie Klag An), tahun 1930 (Nurcholis Madjid, 2004 : 35). Puncak dari semuanya itu adalah Proklamasi 17 Agustus 1945, itulah perjalanan panjang sebuah nama Indonesia yang akhirnya menjadi bangsa yang mendiami pulau-pulau Nusantara atau bekas wilayah Hindia Belanda.
Peran bahasa Melayu yang kelak berkembang menjadi Bahasa Indonesia, telah sejak lama sebagai “ lingua franca” tentu sangat penting dalam pembentukan Indonesia. Dengan penggarapan para cendikiawan modern Sumatera, khususnya Sumatera Barat bahasa Melayu berkembang menjadi bahasa modern sekarang ini. Dengan bahasa Melayu sebagai sahamnya, meminjam jargon dalam dunia komputer maka Sumatera dan Luar Jawa menyediakan “perangkat lunak” (sofware) bagi hakekat keindonesiaan. Sedangkan Pulau Jawa, yang selalu berperan sebagai pusat kekuasaan dalam ukuran besar dan luas menyediakan “perangkat keras” (hardware) baginya. Pembagian itu sejalan dengan pola budaya Indonesia yang secara garis besar mengenal adanya dua orientasi : yang lebih egaliter pada pola budaya pesisir (coostal culture) dan yang lebih hirarkis pada pola pedalaman. Keduanya dapat digambarkan pada dua kerajaan besar yang ada di Nusantara yaitu Sriwijaya dengan falsafah Budhisme yang bersemangat bahari (kelautan, maritim) dan Majapahit dengan falsafah Hinduisme yang kekuatannya banyak bertumpu pada kesuburan tanah-tanah pertanian pedalaman Jawa.
Tetapi pada perkembangannya Majapahit juga mengembangkan kekuatan dan kekuasaan bahari yang ekspansif, maka muncul ide dari Empu Tantular seorang Filosof Kerajaan Majapahit untuk mengusahakan rekonsiliasi antara berbagai aliran keagamaan yang ada, dalam semangat kemajemukan atau plurarisme atas dasar keyakinan tentang adanya kesatuan esensial dibalik perbedaan formal. Semuanya beraneka ragam, namun hakekatnya satu jua, sebab tidak ada jalan kebaktian atau kebaikan yang mendua tujuan “Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangroa”. Walaupun begitu, perbedaan relatif tidak mungkin dihapuskan, dan perpaduan pola budaya pesisir dan pedalaman itu tetap mempengaruhi bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Namun kita juga menyadari bahwa Indonesia sekarang ini bukanlah Sriwijaya dan Majapahit. Indonesia sekarang adalah sebuah kreatifitas abad ke-20, Indonesia merupakan hasil rumusan bersama atau dialog para pelajar/mahasiswa atau orang-orang cerdas, terdidik dan tercerahkan (Anhar Gonggong : 2007). Sebagai sebuah ikatan kebangsaan, entitas Indonesia tidak pernah ada sebelumnya dan baru muncul pada abad ke-20, serta mencapai puncaknya ketika sebuah bangsa dan negara baru diproklamirkan pada tahun 1945. Sejak saat itu semua penduduk yang ada di bekas wilayah Hindia Belanda itu kemudian menyebut diri mereka, atau disebut sebagai bangsa Indonesia. Secara perlahan-lahan baik melalui proses alami maupun produk dari rekayasa sosial-politik, Indonesia tidak lagi hanya dipahami sebagai identitas politis melainkan telah berkembang juga sebagai identitas sosiologis dan kultural.
Begitulah perjalanan panjang berdirinya sebuah Negara-Bangsa “Indonesia”, kita semua juga harus bisa memahami hakekat ataupun pengertian dari sebuah “negara-bangsa” atau nation state. Negara - bangsa adalah suatu gagasan tentang negara yang didirikan untuk seluruh bangsa, pengertian bangsa atau nation dalam bahasa Arab sering diungkapkan dengan istilah Ummah (ummatun, umat) seperti “United Nation” – “Persatuan Bangsa-Bangsa” yang terjemah Arabnya “ Al Umam al-Muttahidah “ “Umat-Umat Bersatu. Jadi negara-bangsa adalah negara untuk seluruh umat, yang didirikan berdasarkan kesepakatan bersama yang menghasilkan kontraktual dan transaksional terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan kesepakatan tersebut. Tujuan negara-bangsa adalah mewujudkan maslahat umum (dalam pandangan negara disebut salaf padanan pengertian dari general welfare) suatu konsep tentang kebaikan yang meliputi seluruh warga negara tanpa kecuali (Nurcholis Madjid, 2004 : 42-43). Sedangkan menurut Benedict Anderson, bangsa adalah merupakan suatu “komunitas terbayang” . Para anggota bangsa terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota yang lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka. Hal terpenting dalam tetap berdirinya sebuah bangsa adalah adanya perasaan kebersamaan dan persaudaraan sebagai anggota komunitas bangsa tersebut (Benedict Anderson, 2001 : 8).
Demikian juga bangsa Indonesia yang dibangun di atas perbedaan karena para warga bangsanya mendiami berbagai pulau yang dipisahkan baik besar maupun kecil. Hubungan antar pulau selalu tidak mudah sehingga masing-masing pulau sedikit banyak terisolasi satu dengan yang lainnya, hal tersebut mendorong tumbuhnya ciri-ciri kesukuan, kebahasaan dan kebudayaan yang berbeda-beda. Bahkan dalam pulau besarpun pola kesukuan dan kebudayaan yang berbeda-beda terdorong muncul dengan sifat khas masing-masing menurut lingkungannya. Semuanya itu disebabkan oleh keadaan geografis dan topografisnya yang menyebabkan terbentuknya wilayah yang terpisah satu dengan lainnya. Untuk itu wawasan multikultural perlu untuk dipahami dan dimaknai bagi segenap bangsa Indonesia.
Keanekaragaman budaya dalam suatu bangsa itu dari satu sisi adalah kekayaan, tetapi dari sisi lain adalah kerawanan. Sebagai kekayaan, keanekaragaman budaya dapat dibandingkan dengan keanekaragaman nabati. Keanekaragaman itu dapat menjadi sumber pengembangan budaya hibrida yang kaya dan tangguh , melalui penyuburan silang budaya (cros-cultural fertilization). Berbagai bentuk penyuburan silang budaya telah terjadi, tetapi pada umumnya merupakan hal-hal ‘kebetulan” sebagai akibat sampingan interaksi perdagangan regional yang ditunjang oleh kekuasaan politik. Peranan kekuasaan – kekuasaan besar seperti Sriwijaya, Majapahit dan Aceh penting sekali dalam proses penyuburan silang budaya di Nusantara. Pengaruh silang itu dapat dikenali pada adanya unsur-unsur kosmopolit dan universal dalam banyak segi budaya umum kawasan nusantara.
Sebagai kerawanan, keanekaragaman budaya melemahkan kohesi antar suku dan pulau. Karena itu wilayah nusantara akan rentah terhadap penaklukan dan penjajahan dari luar. Usaha penguatan kohesi beberapa bagian atau seluruh Nusantara melalui penyatuan dalam kekuasaan politik tunggal pernah beberapa kali terjadi seperti oleh kerajaan-kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Aceh. Tetapi usaha – usaha itu menghasilkan suatu penyatuan wilayah yang tidak persis sama dengan wilayah Indonesia modern sekarang. Di satu sisi hasil penyatuan itu lebih kecil daripada Indonesia sekarang, karena tidak mencakup seluruh wilayah dari Sabang sampai Merauke. Disisi lain, hasil penyatuan itu lebih besar daipada wilayah Indonesia sekarang ini, karena mencakup pula wilayah-wilayah di luar lingkungan Sabang-Merauke, seperti Semenanjung Melayu, Kalimantan Utara, Mindanao, bahkan sampai ke pulau Formusa dan Madagaskar.
Ketika bangsa telah menikmati perjalanan, sadar atau tidak para pemimpin atau penguasa di Republik ini banyak melakukan ketidaksetiaan asas atau inkonsistensi yang mencemaskan. Negara – negara pascakolonial termasuk Indonesia sebagian besar dikelola berdasarkan kombinasi antara kekuatan dan kerentanan birokrasi sipil dan militer yang diwarisi dari penguasa kolonial telah memberi kekuatan untuk mengelola negara, namun pada saat yang sama kedudukan negara sangat rentan karena birokrasi yang ada tidak terintegrasi dengan komunitas politik di dalam masyarakat. Nasionalisme yang merupakan imajinasi konseptual dari sebuah komunitas terbayang dalam membangun solidaritas bersama seperti yang dikatakan Ben Anderson di sebagian negara baru termasuk Indonesia diartikan sebagai identitas pascaetnik yang menafikan kenyataan multikultural namun ironisnya cenderung tidak netral secara etnik.
Negara kemudian cenderung memaksakan hegemoni tertentu yang diambil dari etnik atau etnik-etnik tertentu sebagai sebuah nilai tunggal yang harus dipatuhi oleh kelompok dan komunitas lain atas bangsa. Kelompok dan komunitas lain mersakan diri sebagai minoritas atau kelompok yang tertindas. Sebagai reaksi, kelompok atau komunitas ini menuntut kesetaraan politik, pembagian keuntungan ekonomi dan hak yang lebih besar, atau bahkan negara yang terpisah dan bangsa yang merdeka, akibatnya konflik identitas tidak dapat dihindari.
Pada masa Orde Baru ada kecenderungan seperti di atas, hal tersebut dapat dilihat suatu keinginan kuat untuk menyeragamkan kehidupan nasional, khususnya bidang politik dan pemerintahan. Sistem-sistem pemerintahan daerah berangsur-angsur digiring untuk menerapkan sistem yang seragam dengan mengikuti model etnik tertentu dalam hal ini yang ada di Jawa. Kecenderungan kuat untuk melakukan penyeragaman dengan implikasi pemaksaan dari atas telah mendorong tumbuhnya perasaan tidak puas daerah kepada pusat, yang pada urutannya ikut memicu pergolakan daerah. Ditambah dengan tipisnya kadar keadilan dalam pembagian kembali kekayaan nasional, khususnya kekayaan yang datang dari daerah bersangkutan, pergolakan daerah mudah sekali berkembang menjadi perlawanan untuk memisahkan diri (sparatisme) dan itu sangat mengganggu integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sentralisasi kekuasaan yang didukung oleh militer demi stabilitas yang berlebihan telah menumbuhkan bibit-bibit disintegrasi bangsa dan erosi kesadaran nasional sehingga muncul kasus-kasus pergolakan daerah seperti di Aceh, Maluku, Papua dan Riau. Gejala itu merupakan ancaman pada kedaulatan dan memicu maraknya krisis nasional yang multidimensional.
Berkenaan dengan hal di atas, tindakan yang terbaik ialah kembali memahami dan konsisten terhadap semangat motto negara kita, Bhineka Tunggal Ika. Karena itu kita harus menghargai pola-pola budaya daerah dan mengakui hak masing-masing untuk mengembangkan budaya mereka. Kita harus menerima kebhinekaan sebagai kekayaan, dan serentak dengan itu kita memelihara keekaan berdasarkan kepentingan bersama secara nasional. Kita harus memandang budaya daerah sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan sebagai perwujudan kearifan lokal yang harus dijaga keutuhan dan kelestariannya. Keanekaragaman budaya itu harus dijadikan pijakan untuk “berlomba-lomba menuju kepada kebaikan” Sebagaimana telah disinggung di atas berlomba untuk menciptakan suasana penyuburan silang budaya yang akan memperkaya dan menguatkan budaya nasional sebagai budaya hibrida yang unggul dan tangguh. Dalam hal ini, tidak satupun budaya daerah yang terkecualikan. Semuanya itu merupakan inti dari semangat sebenarnya ungkapan Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangroa, budaya-budaya daerah harus ditempatkan dengan penuh penghargaan begitu rupa sehingga tetap memperoleh pengakuan yang sah sebagai bentuk – bentuk kearifan lokal yang memperkaya budaya dan kearifan nasional. Hal tersebut sesuai dengan paham Multikulturalisme yaitu sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta sebuah penghormatan tentang budaya orang atau etnis lain.
C. P e n u t u p
Dalam perspektif sejarah, bangsa Indonesia dibangun atas kebersamaan dan kesadaran diantara bagian-bagian yang berbeda atau terpisah-pisah ke dalam suatu kesatuan , dari loyalitas regional, etnis, bahasa, budaya, dan religius. Keanekaragaman tersebut pada masa lalu telah diungkapkan dengan sesanti “Bhineka Tunggal Ika” hal tersebut dimaksudkan sebagai pengakuan positif kepada keanekaragaman yang ada. Kesuksesan Indonesia sebagai “bangsa” dalam pengertian keberhasilannya muncul diantara bangsa-bangsa di dunia didahului dengan perjuangan yang sangat panjang dan membutuhkan pengorbanan. Perjuangan panjang tersebut mencapai puncaknya ketika bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, namun perjuangan tersebut tidak berhenti sampai disitu. Tantangan dan ancaman terus ada didepan kita, mulai dari krisis ekonomi, konflik, sparatisme yang semuanya itu mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Indonesia dibangun di atas berbagai keanekaragaman, dalam keaneka ragaman budaya dari satu sisi merupakan sebuah kekayaan manakala bisa saling memahami dan saling menghargai sebagaimana paham multikulturalisme yaitu sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya orang lain. Sebagai sebuah kerawanan, keanekaragaman budaya melemahkan kohesi antar suku dan pulau. Kecenderungan kuat untuk melakukan penyeragaman dengan implikasi pemaksaan dari atas justru menimbulkan perasaan tidak puas dari daerah terhadap pusat, hal tersebut bisa menimbulkan berbagai konflik , kerusuhan maupun sparatisme.
Berkenaan dengan hal tersebut, tindakan kita yang terbaik adalah kembali kepada konsistennya semangat motto negara kita “Bhineka Tunggal Ika”. Keanekaragaman merupakan suatu hal yang wajar, bahkan mungkin merupakan kodrat kehidupan , termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini juga telah disadari oleh para pendahulu kita bahkan nenek moyang kita, sehingga banyak sekali dijumpai simbol-simbol yang menunjukkan situasi keanekaragaman. Keanekaragaman tersebut akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan jaman, sehingga semakin penting untuk dikelola melalui penghayatan dan penghargaan akan perbedaan tersebut, dan bukan penyeragaman atau pengekangan dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik di kemudian hari.
Dengan menghayati dan menghargai keanekaragaman tersebut, akan mengkristal keharmonisan dan keutuhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga terhindarlah bangsa Indonesia dari situasi krisis dan disintegrasi bangsa. Sesuai dengan paham multikulturalisme, kita haruis menghargai pola-pola budaya daerah dan mengakui hak masing-masing untuk mengembangkan budaya mereka. Kita harus menerima kebhinekaan sebagai kekayaan, dan serentak dengan itu kita memelihara keekaan berdasarkan kepentingan bersama secara nasional. Kita harus bisa memandang budaya daerah yang sejalan dengan nilai kemanusiaan sebagai perwujudan kearifan lokal yang harus dijaga keutuhan dan kelestariannya. Keanekaragaman tersebut harus dijadikan pijakan untuk "berlomba-lomba menuju kepada kebaikan”. Sehingga perlombaan tersebut akan menciptakan suasana penyuburan silang budaya yang akan memperkaya dan memperkuat budaya nasional sebagai budaya hibrida yang unggul dan tangguh. Dalam hal ini tidak satupun budaya daerah yang terkecualikan.
Daftar Pustaka
Leirissa, dkk., 1989. Sejarah Pemikiran Tentang Sumpah Pemuda. Jakarta : Depdikbud, Proyek IDSN
Leirissa, 2004. “ Teori Sejarah” Makalah dalam Pelatihan Tenaga Teknis Kesejarahan Tingkat Lanjutan tahun 2004 di Depok.
A.A. Ayu Rai Wahyuni, 2005. “ Nasionalisme dan Penghargaan Terhadap Keberagaman”. Makalah Seminar Sejarah dalam Rangka Ulang Tahun Jurusan Sejarah Fak. Sastra Unud ke-41 Tahun 2005
Sartono Kartodirdjo, 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historigrafi Indonesia : suatu Alternatif. Jakarta : Gramedia
Sartono Kartodirdjo, 1999. Multidimensi Pembangunan Bangsa. Yogyakarta : Kanisius
Nurcholis Madjid, 2004. Indonesia Kita. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Bambang Purwanto, 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris ?. Yogyakarta : Ombak
Robert W. Hofner, ed., 2007. Politik Multikulturalisme Menggugat Realitas Kebangsaan. Yogyakarta : Kanisius
Susanto Zuhdi, 2000. “ Integrasi Bangsa Dalam Perspektif Sejarah”. Makalah Diskusi dan Temu Tokoh di BKSNT Denpasar tanggal 27 Juni 2000.
Benedict Anderson, 2001. Komunitas Terbayang, (terj.). Yogyakarta : INSIST
Anhar Gonggong, 2007. “ Melalui Kegiatan Lawatan Sejarah, Kita Tingkatkan Pemahaman Sejarah dan Semangat Nasionalisme” . Makalah pada Dialog Kesejarahan dalam rangka Lawatan Sejarah Daerah Bali 2007 di Hotel Dewi Karya Denpasar.
I Gde Suyatna, 2002. “Menghargai Kebhinekaan Budaya Daerah Sebagai Jatidiri Bangsa Dalam Rangka Menghindari Disintegrasi Bangsa”. Makalah pada Sarasehan Harkitnas 2002 di Jayasabha, Denpasar.
Taufik Abdullah, 2001. Nasionalisme dan Sejarah . Bandung Satya Historika
I Wayan Geriya., 2002. “Aktualisasi Jiwa dan Semangat Harkitnas akan Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa”. Makalah pada Sarasehan Harkitnas 2002 di Jayasabha, Denpasar.